BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia dan Asia pada khususnya serta resesi dan ketidakseimbangan ekonomi
global pada umumnya, adalah suatu bukti bahwa asumsi di atas salah total,
bahkan ada sesuatu yang “tidak beres” dalam sistem yang kita anut selama ini.
Tidak adanya nilai-nilai Illahiyah yang melandasi operasional Perbankan dan
lembaga keuangan lainnya telah menjadikan lembaga “penyuntik darah” pembangunan
ini sebagai “sarang-sarang perampok berdasi” yang meluluhlantahkan sendi-sendi
perekonomian bangsa.
Dengan latar belakang inilah, maka
seluruh praktik perbankan modern, yang mulai tumbuh dan berkembang sejak abad
ke-16, sistem operasionalnya tidak bisa lepas dari riba. Akibat terlalu lama
dan mendalamnya sistem riba dalam sistem perbankan ini menyebabkan hal tersebut
sangat sukar untuk dipisahkan. Bahkan telah berakar dan berkarat dalam kerangka
pikiran para bankir konvensional bahwa riba adalah darah dan nadi dari seluruh
sistem perbankan.
Sekarang saatnya para Bankir yang
masih mengimani Al Qur’an sebagai pedoman hidupnya dan Hadits sebagai panduan
aktivitasnya berperan aktif dalam memajukan sistem Perbankan Syari’ah.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم
مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Maisir secara bahasa dan istilah?
2.
Sebutkan dalil –
dalil yang mengharamkan Maisir !
3.
Apakah yang
dimaksud dengan Gharar secara bahasa dan istilah?
4.
Sebutkan dalil –
dalil yang mengharamkan Maisir !
5. Apakah perbedaan antara Maisir dan Gharar ?
6.
Apakah yang
dimaksud dengan Riba secara bahasa dan istilah?
7.
Sebutkan dalil –
dalil yang mengharamkan Riba !
8. Apakah yang dimaksud dengan Risywah secara bahasa dan istilah?
9.
Sebutkan dalil –
dalil yang mengharamkan Risywah !
10.
Bagaimana
contoh-contoh Maisir, Gharar, Riba dan Risywah?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini agar pembaca memahami apa
yang dimaksud dengan:
1.
Maisir secara bahasa dan istilah
2.
Dalil
– dalil yang mengharamkan Maisir
3.
Gharar secara bahasa dan istilah
4.
Dalil
– dalil yang mengharamkan Maisir
5.
Perbedaan
antara Maisir dan Gharar
6.
Riba secara bahasa dan istilah
7.
Dalil
– dalil yang mengharamkan Riba
8.
Risywah secara bahasa dan istilah
9.
Dalil
– dalil yang mengharamkan Risywah
10. Mengetahui contoh-contoh kasus Maisir, Gharar, Riba dan Risywah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Maisir
Kata Maisir
dalam bahasa Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Yang
biasa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam al-Quran adalah
kata `azlam` yang berarti praktek perjudian.
Secara bahasa Maisir bisa dimaknakan dalam beberapa
kalimat : Gampang/mudah, orang yang kaya dan wajib. Secara istilah, Maisir
adalah setiap Mu’amalah yang orang masuk kedalamnya dan dia mungkin rugi dan
mungkin beruntung. Kalimat “mungkin rugi dan mungkin untung”, juga ada dalam
Mu’amalat jual beli, sebab orang yang berdagang mungkin untung mungkin rugi.
Namun Mu’amalat jual beli ini berbeda dengan Maisir, seorang pedagang bila
mengeluarkan uang maka ia memperoleh barang dan dengan barang itu ia
bermu’amalat untuk meraih keuntungan walaupun mungkin ia mendapat kerugian,
tapi Maisir, begitu seseorang mengeluarkan uang maka mungkin ia rugi atau tidak
dapat apapun dan mungkin ia beruntung.
Ini definisi Maisir dalam istilah ulama,
walaupun sebagian orang mengartikan Maisir ini ke dalam bahasa Indonesia dengan
pengertian sempit, yaitu judi. Judi dalam terminologi agama
diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk
kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan
pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau
kejadian tertentu”.
Prinsip
berjudi adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya
berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali, mengharapkan keuntungan
semata (misalnya hanya mencoba-coba) di samping sebagian orang-orang yang
terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak
dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan
bertaruh benar-benar masuk dalam kategori definisi berjudi.
Judi pada
umumnya (maisir) dan penjualan undian khususnya (azlam) dan
segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk
perjudian adalah haram di dalam Islam. Rasulullah s.a.w melarang segala bentuk
bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi
dan ramalan atau terkaan (misalnya judi) dan bukan diperoleh dari bekerja.
B.
Dalil – dalil
Pengharaman Maisir :
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ
الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. إِنَّمَا يُرِيدُ
الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاء فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللّهِ وَعَنِ الصَّلاَةِ فَهَلْ أَنتُم
مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, maisir, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”. (QS. Al-Ma`idah : 90-91)
Dan
dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary dan Muslim,
Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersada :
مَنْ قَالَ لِصَاحِبِهِ تَعَالَ أُقَامِرْكَ فَلْيَتَصَدَّقْ بِشَيْءٍ
“Siapa yang berkata kapada temannya : “Kemarilah saya berqimar denganmu”, maka hendaknya ia bershodaqoh.” (HR. Bukhari-Muslim)
Qimar menurut sebagian ulama sama dengan maisir, dan menurut sebagian ulama lain qimar hanya pada mu’amalat yang berbentuk perlombaan atau pertaruhan. Dan hadits di atas menunjukan haramnya maisir/qimar dan ajakan melakukannya dikenakan kaffarah (denda) dengan bershodaqoh. Dan tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ‘ulama tentang haramnya maisir.
“Diriwayatkan
oleh Abdullah bin Omar bahwa Rasulullah s.a.w. melarang berjualbeli yang
disebut habal-al-habla semacam jual beli yang dipraktekkan pada zaman Jahiliyah.
Dalam jual beli ini seseorang harus membayar seharga
seekor unta betina yang unta tersebut belum lahir tetapi akan segera lahir
sesuai jenis kelamin yang diharapkan “.
“Diriwayatkan
oleh beberapa sahabat Nabi, termasuk Jabir, Abu Hurairah, Abu Said Khudri, Said
bin Al Musayyib dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah s.a.w. melarang transaksi
muzabanah dan muhaqalah”.
Kedua jenis
bisnis transaksi diatas sangat merakyat pada zaman sebelum Islam. Muzabanah
adalah tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan cara
bahwa jumlah buah yang kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah
yang segar ditukarkan hanya dapat ditebak karena masih berada di pohon. Sama
halnya dengan muhaqalah yaitu penjualan gandum ditukar dengan gandum yang masih
ada dalam bulirnya yang jumlahnya masih ditebak-tebak.
Disebabkan karena kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya, maka dalam Al-Qur`an, Allah swt sangat tegas dalam melarang maisir (judi dan semacamnya) sebagaimana ayat berikut:
“Mereka akan
bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah: pada keduanya
terdapat dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar dari
pada manfaatnya…” (QS. Al Baqarah 2:219).
Ayat di atas
secara tegas menunjukkan keharaman judi. Selain judi
itu rijs yang berarti busuk, kotor, dan termasuk perbuatan setan, ia
juga sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek
ideologi, politik, ekonomi, social, moral, sampai budaya. Bahkan , pada
gilirannya akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab,
setiap perbuatan yang melawan perintah Allah SWT pasti akan mendatangkan celaka.
Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk menguburkan makna judi. Sebab salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia, adalah mengemas sesuatu yang batil (haram) dengan kemasan bisnis yang baik dan menarik, atau dengan nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tampaknya seakan-akan halal. Allah SWT berfirman:
“Dan
demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan
(dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin. Sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia”
(QS. Al-An`am: 112)
Juga perhatikan firman-Nya:
“Dan setan
pun menampakkan kepada mereka kebagusan keindahan apa yang selalu mereka
kerjakan” (QS. Al-An`am: 43)
Rasulullah
SAW juga mensinyalir perbuatan setan yang demikian itu sebagai, “Surga itu
dikelilingi oleh sesuatu yang tidak menyenangkan, sedangkan mereka (setan)
dikelilingi oleh sesuatu yang menyenangkan”. (HR. Bukhari – Muslim).
C. Definisi Gharar
Definisi gharar secara
bahasa adalah bahaya, dan taghrir yaitu membawa diri pada sesuatu
yang membahayakan. Makna secara istilah fiqih gharar mempunyai tiga
definisi. Pertama, gharar khusus berlaku pada sesuatu yang hasilnya tidak
jelas, dapat atau tidak dapat, sebagaimana ungkapan Ibnu ‘Abidin, Gharar adalah
syak atau keraguan pada apakah komoditi tersebut ada atau tidak ada. Kedua,
gharar khusus pada komoditi yang tidak diketahui spesifikasinya. Berkata
Ibnu Hazm, gharar pada bisnis yaitu sesuatu dimana pembeli tidak tahu apa
yang dibeli, atau pedagang tidak tahu apa yang dijual. Ketiga, gharar
mengandung dua makna tersebut diatas. Berkata As-Sarhsy,” Gharar adalah sesuatu
yang aqibatnya tidak jelas. Pendapat ini yang diyakini oleh mayoritas
ulama.
Dari sisi lain gharar juga ada yang
kadarnya sedikit, sedang dan berat. Oleh karena itu sebagian ulama
mendefinisikan gharar yaitu sesuatu yang diyakini adanya, tetapi
diragukan kesempurnaannya (Mukhtar Shihah). Contoh-contoh berikut
termasuk gharar dari sisi ini: Menjual buah sebelum layak di petik, menjual
janin pada induknya, menjual ikan pada tempat pemancingan atau kolam ikan
dengan cara dipancing atau dijaring dll.
D.
Dalil – dalil
Pengharaman Gharar
Al-Baqarah: 188:
Artinya:
“Dan janganlah
sebagian kamu memakan
harta sebagian dari
yang
lain diantara kamu dengan yang batil.” (Q.S. Al-Baqarah : 188)
Artinya :
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu.” (Q.S. An-Nisa
: 29)
Landasan sunnah:
Artinya :
Dari Abi Hurairah berkata : rasullulah telah melarang jual beli hasah dan jual beli gharar. (HR. Muslim)
Artinya:
Dari Ibnu
Abbas berkata :
Rasullulah saw telah
melarang jual
beli gharar (HR. Ibnu
Majah)
E.
Perbedaan
antara Gharar dan Maisir
Dalam membandingkan definisi gharar dan definisi maisir
secara istilah nampak ada bentuk kemiripan. Kalimat maisir dan qimar lebih
khusus dari gharar sebab tidaklah diragukan bahwa maisir dan qimar itu adalah
gharar. Karena itu para ulama setiap maisir adalah gharar dan tidak setiap
gharar adalah maisir. Contoh : Menjual pohon yang belum jelas hasilnya adalah gharar
tapi tidak bisa di golongkan maisir.
F.
Pengertian Riba
dan Pembagiannya
Menurut etimologi, riba berarti الزّيادة (tambahan), seperti arti kata riba pada ayat:
Artinya : “Kemudian apabila kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu
dan suburlah.” (Al-Hajj:5)
Menurut
terminologi, ulama fiqih mendefinisikannya berikut ini.
a.
Ulama Hanabilah
الزِّياَدَةُ فِي اَشياَءَ
مَخصُوصٍ
Artinya
: “ pertambahan sesuatu yang dikhususkan.”
b.
Ulama Hanafiyah
فَصْلُ مَالٍ بلاَ عَوْضٍ فِي
مُعاَوَضَةِ ماَلٍ بماَلٍ
Artinya
: “Tambahan pada harta pengganti dalam pertukaran harta dengan harta.”
2.
Dalil Keharaman Riba
Riba
diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, Sunah, dan ijma’ :
a.
Al-Qur’an
Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surah Al Baqarah ayat 275:
Artinya:
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”
Dan dalam surah Al-Baqarah, 278-279:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.”
b.
As-Sunah
حَدِيثُ أَبيِ هُرَيْرَةَ ر.ع.
عَنِالنَّبِيِّ ص.م.قَالَ : اِجْتَنِبواالسَّبْعَ الُمُوبِقاَتِ.قَلُوْا :
ياَرَسُوْلَ اللّهِ وَماَ هُنَّ؟ قاَلَ:الشِّرْكُ بِااللّهِ وَالسِّحرُ وَقَتلُ
النَّفْسِ الّتِي حَرَّم الله الَّا بِا لْحَقِّ َواَكْلُ الرِّبَا وَ اَكْلُ
مَالِ الْيَتِيْمِ وَ التّوَ لِّي يَومَ الزَّحْفَ وَقَذْ فُ الْمُخْصَنَاتِ
الْمُؤْ ِمنَاتِ الغَا فِلَاتِ (رواه
البجا ر ى)
Artinya:
“Abu
Hurairah r.a berkata
bahwa Nabi SAW. bersabda, Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan.
Sahabat bertanya. Apakah itu, ya itu, ya Rasulallah? ‘ ‘ Jawab Nabi, (1) syirik
(memperskutuan Allah); (2) Berbuat sihir (tenung); (3) Membunuh jiwa yang
diharamkan Allah, kecuali yang hak; (4) Makan harta riba; (5) Makan harta anak
yatim; (6) Melarikan diri dari perang jihad pada saat berjuang; dan (7) Menuduh
wanita mukminat yang sopan (berkeluarga). Dengan tuduhan zina. (HR.Bukhari)
رُوِيَ
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ ر.ع.قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللّهِ صلعم.اكِلَ الرِّباَ
وَمُوَكِّلَهُ وَشاَ هِدَهُ وَكاَ تِبَهُ.
(رواه أبوداودوغيره)
Artinya : “Diriwayatkan oleh Ibn Mas’ud r.a bahwa Rasulullah SAW. telah melaknat pemakan riba, yang mewakilinya, saksinya, dan penulisnya. “
c.
Ijma
Seluruh ulama
sepakat bahwa riba diharamkan dalam islam.
B. Macam-Macam
Riba
1. Menurut
Jumhur Ulama
Jumhur ulama1)
membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah.
a.
Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah:
زِياَدَةُ
عَينِ ماَلٍ فِىِ عَقْدِ بَيعٍ علىَ الْمعْياَرِ الشّرعىّ عِنْدَاتّحادِالْخِنسِ.
Artinya : “Tambahan zat harta pada
akal jual-beli yang diukur dan sejenis.”
Dengan kata
lain, riba fadhl adalah jual-beli yang mengandung unsur riba pada barang
sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut.
Oleh karena
itu, jika melaksanakan akad jual-beli antarbarang yang sejenis, tidak boleh
dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba.
b.
Riba Nasi’ah
Menurut ulama Hanafiyah, riba
nasi’ah adalah :
فَضْلُ الحلُوْلِ
عَلىَ اْلاَ جَلِ وَفَضْلُ الْعَينِ عَلىَ الدَّ يْنِ فِي الْمِكْيلبْنِ
اَوِالْموْزُوْنَينِ عِندَا خْتالاَ فِ اْلجِنسِ اَوِاْالمَكيلين اوالموزو نينِ
عِندَا تّحادالجِنسِ.
Artinya : “Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang
ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda disbanding utang pada benda yang
ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan
ditimbang yang sama jenisnya.”
Maksudnya,
menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan
pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram gandum dengan satu
setengah kilogram gandum, yang dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli
yang tidak ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua buah
semangka yang akan dibayar setelah sebulan.
Ibn abbas,
usamah Ibn Jaid Ibn arqom, jubair, Ibn jabir, dll. Berpendapat bahwa riba yang
diharamkan hanyalah riba nasi’ah pendapat ini didasarkan pada hadist yang
diriwayatkan oleh bukhari muslim bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لَا رِبَا
اِلَّا فيِ النّسيْئةِ
Artinya : “Tidak
ada riba kecuali pada riba nasi’ah.”
Ulama lainnya
menentang bendapat tersebut dan memberikan dalil-dalil yang menetapkan riba
fadl, sedangkan tabi’in sepakat tentang haramnya kedua riba tersebut dan
perbedaan pendapatpun hilang.
Selain itu
mereka yang menyatakan bahwa hanya riba nasi’ah yang diharapkan kemungkinan
tidak utuh dalam memahami hadits diatas. Asal hadits diatas adalah Nabi
Muhammad SAW ditanya tentang pertukaran antara gandum dan sya’ir, emas, dan perak yang pembayarannya
diakhirkan, kemudian Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak ada riba kecuali pada
riba nasi’ah.” Hadits ini lebih tepat diartikan bahwa riba nasi’ah adalah
riba terberat dibandingkan dengan riba lainnya. Hal ini sama dengan
pernyataan,”Tidak ada ulama didaerah ini kecuali Ahmad.” Padahal kenyataanya,
juga ada ulama selain ahmad. Hanya saja ahmad merupakan ulama yang paling
disegani.
2.
Menurut Ulama syafi’iyah
Ulama
Syafi’iyah, membagi riba menjadi tiga jenis.
a.
Riba fadhl
Riba fadhl adalah jualbeli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti
(penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar
paling akhir. Riba ini terjadi pada barang yang sejenis, seperti menjual satu
kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.
b.
Riba Yad
Jual-beli dengan mengakhirkan
penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-berai antara dua orang yang akad
sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual-beli antara gandum
dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, riba ini
termasuk riba nasi’ah, yakni menambah yang tampak dari utang.
c.
Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah, yakni
jual-beli yang pembayarannya diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.
Menurut ulama syafi’iyah, riba
yad dan riba nasi’ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang
tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhiri pemegang barang, sedangkan
riba nasi’ah mengakhiri hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran
diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba
qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada
riba fadhl.
G. Pengertian Risywah
Risywah menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan seseorang kepada
hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak
dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.” (al-Misbah
al-Munir/al Fayumi, al-Muhalla/Ibnu Hazm). Atau “pemberian yang diberikan
kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul Arab, dan
mu’jam wasith).
Sedangkan
menurut istilah risywah berarti: “pemberian yang bertujuan membatalkan yang
benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani
148).
H. Unsur-unsur risywah
berdasarkan
definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan dinamakan risywah
jika memenuhi unsur-unsur berikut:
a. Adanya athiyyah (pemberian)
b. Ada niat Istimalah (menarik
simpati orang lain)
c. Bertujuan:
- Ibtholul haq (membatalkan yang haq)
- Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan)
- al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan)
- al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya)
- al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)
I. Dalil Diharamkannya Risywah
Dari
definisi di atas ada dua sisi yang saling terkait dalam masalah risywah;
Ar-Rasyi (penyuap) dan Al-Murtasyi (penerima suap), yang dua-duanya sama-sama
diharamkan dalam Islam menurut kesepakatan para ulama, bahkan perbuatan
tersebut dikategorikan dalam kelompok dosa besar. Sebagaimana yang telah
diisyaratkan beberapa nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabawiyah berikut ini:
a. Firman
Allah ta’ala:
وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
”Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS Al
Baqarah 188)
b. Firman
Allah ta’ala:
سَمَّاعُونَ
لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
”Mereka itu
adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang
haram” (QS Al Maidah 42).
Imam
al-Hasan dan Said bin Jubair menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan
risywah. Jadi risywah (suap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh
Allah SWT
c. Rasulullah
SAW bersabda:
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
“Rasulullah
melaknat penyuap dan yang menerima suap” (HR Khamsah
kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi).
«كلّ لحم نبت بالسّحت فالنار أولى به» قالوا : يا رسول الله وما
السحت؟ قال : «الرشوة في الحكم»
“Setiap
daging yang tumbuh dari barang yang haram (as-suht) nerakalah yang paling layak
untuknya.” Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apa barang haram
(as-suht) yang dimaksud?”, “Suap dalam perkara hukum” (Al-Qurthubi
1/ 1708)
Ayat dan
hadits di atas menjelaskan secara tegas tentang diharamkannya mencari suap,
menyuap dan menerima suap. Begitu juga menjadi mediator antara penyuap dan yang
disuap.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari Paparan atau penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Maisir, Gharar, Riba dan Risywah merupakan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang baik untuk kita sebagai para pelajar abadi memahaminya dan mengamalkannya dalam kehidupan yang fana ini.
Dari Paparan atau penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Maisir, Gharar, Riba dan Risywah merupakan hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam syari’at Islam. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang baik untuk kita sebagai para pelajar abadi memahaminya dan mengamalkannya dalam kehidupan yang fana ini.
B.
Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, untuk kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak dan lebih rinci lagi.
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, untuk kedepannya penulis akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak dan lebih rinci lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Rachmat Syafi’i, M.A, Fiqih Mu’amalah, Pustaka Setia,
Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar