running text

Jumat, 01 Juli 2016

Sudahkah Kita (Memenangkan Ramadhan)?



Sekarang kita berada di hari menjelang akhir bulan Ramadhan. Jika dalam permainan sepakbola, ketika dalam posisi menjelang akhir pertandingan kita harus memastikan jika kita akan memenangkan permainan. Kita harus memastikan jika kita sudah mencetak gol yang menjadi syarat kemenangan. Begitu pula halnya dalam menjalani bulan Ramadhan, kita harus memastikan bahwa kita mengakhiri Ramadhan dalam posisi sebagai seorang pemenang.

Lantas, bagaimana ciri seorang pemenang itu?

Dalam Islam, kemenangan seorang muslim ialah ketika seseorang dapat membawa sikap taqwa, tatkala taqwa bukan lagi berbicara tentang sesuatu yang pasang-surut—dalam satu tempat bertakwa, tetapi dalam keadaan atau tempat lain cenderung meninggalkannya—ketika takwa sudah melekat dalam diri seseorang, ia layak dan pantas disebut sebagai seorang pemenang.

Dalam Al-Qur’an, takwa diibaratkan sebagai pakaian. Ini merupakan tasybih, terlihat jelas bahwa seseorang dinilai baik ketika ‘pakaian’-nya baik, demikian pula sebaliknya.

Lantas, apakah kita layak berpredikat sebagai seorang pemenang?

Kita sendiri yang lebih mengetahui akan jawaban dari pertanyaan ini.
Bagaimana kualitas puasa kita?
Apa masih tentang menahan lapar dan dahaga saja? Atau bagaimana?
Bagaimana tarawih kita?
Apa masih seadanya? Sekedar berbaur untuk terlihat taat? Atau bagaimana?
Bagaimana sikap kita terhadap sesama?
Apa sudah baik? Sudah mengajak orang berbuat baik? Atau bagaimana?

Semoga kita senantiasa berada dalam ampunan-Nya.
waLlaahu a’lam bish-shawwab.

*disarikan & telah disunting dari khutbah Ust. Yuyun Wahyudin, S.S, M.Pd.I
Pada: Jum’at, 1 Juli 2016 
Di: Mesjid Jami Al-Falah II Nagreg

Jumat, 15 Januari 2016

(Semoga Menjadi) Solusi Kekalutan :)

(Semoga Menjadi) Solusi Kekalutan[1]
Oleh: Muhammad Hidad Abdillah (@hidad_abd)
Santri PP. Al-Qur’an Al-Falah II Nagreg
Sebenarnya, ketika kita bertanya “apa solusinya?”, kadang sebenarnya kita tahu jawaban yang paling tepat untuk ‘pertanyaan’ kita. Karena sesungguhnya, kita yang paling tahu seluk-beluk tentang apapun yang kita hadapi. Kadang kita hanya menyambung-nyambungkan hal-hal yang ingin terjadi setelahnya dengan pernyataan orang—itu pun dipilah, mana pernyataan yang mendukung keinginan kita, baru kita menjadikannya dorongan (lebih tepatnya alasan/motif), baru kita melangkah lagi, dengan langkah, seolah ada orang yang mendukung kita dari belakang, dan menyoraki tiap langkah kita “semangat.. semangat!” nyatanya tidak. percayalah, hanya mereka, orang-orang tulus—yang sudah bebas dari kepentingan yang bisa mendorong kita dengan sebenar-benarnya, dan yang paling mungkin adalah orang tua dan guru-guru kita.
Kejadian (K) + Tanggapan (T) = Hasil(H)
Juga sering kali, kita juga lupa memasang cermin didepan diri kita ketika kita menghadapi suatu keadaan, kita kadang lupa, bahwa kejadian (K) dan tanggapan (T) itu berbanding lurus dengan hasil (H). Hasil disini yakni apa yang nampak di depan kita sekarang, tak akan ada hasil, jika sebelumnya tidak ada kejadian dan tanggapan—kecuali dalam beberapa hal[2]. Idealnya, sebelum kita bertanya “kenapa kok seperti ini?”, telaahlah terlebih dahulu, apa kejadian sebelumnya yang kita alami? Bagaimana kita menghadapinya? Apa kita melakukan langkah yang benar? Atau cenderung salah?
Berbicara tentang ilmu, saya rasa ilmu itu bersifat umum, bahkan sebagian orang alim mengatakan bahwa pada zaman nabi pun, ilmu itu tidak dikotak-kotakkan seperti pada zaman sekarang. Namun, pada masa setelah itu, baru ilmu dicacah sesuai bidang garapan dan tujuan pengamalannya, ini dilakukan untuk mempermudah orang mempelajari ilmu yang ‘satu’ itu, sekali lagi saya tegaskan bahwa pencacahan itu bukan untuk menghentikan langkah orang-orang yang terlanjur terpuruk mendalami ilmu, melainkan untuk mempermudah orang yang mempelajari ‘ilmu’, barangkali orang mau mendalami satu persatu ilmu dan tidak akan mempelajari ilmu lain sebelum ilmu itu benar-benar terkuasai, lalu barangkali orang akan fokus kepada bidang ilmu kesukaannya dan menjadikan bidang ilmu lain sekedarnya saja. Dan masih banyak kemungkinan sikap-sikap lainnya.
Maka jika kita cenderung terpuruk dan mengeluh karena (salah satu bidang) ilmu yang kita dalami tak kunjung terkuasai, malulah kepada beliau-beliau telah bersusah payah mencacah dan menyusun kerangka ilmu untuk generasi setelahnya (kita). Beliau-beliau yang beroptimis bahwa ilmu hasil temuannya suatu saat akan ada yang mendalami, akan ada yang meneruskan, akan ada yang mengembangkan.
Untuk selanjutnya, untuk kita yang punya tujuan, kita yang punya daftar pencapaian-pencapaian yang dibuat (tentu) agar sebagian besar diwujudkan, mau kemana kita? Maka bergeraklah!
Pojok Pondok Kendan, 16 Januari 2016


[1] Judul terilhami dari maraknya keluhan keluhan pemuda-pemudi penerus bangsa (khususnya) di sosial media
[2] Kecuali dalam berbagai contoh pembahasan, seperti mengenai Ketuhanan, dan hal-hal lain yang pantas dikecualikan

Kamis, 14 Januari 2016

Sebuah Ibrah dari Kasus 'Bom Sarinah'


Islam Sebagai Ajaran, Pemahaman, dan Pengamalan
Oleh: Muhammad Hidad Abdillah (@hidad_abd)
Santri di PP. Al-Qur’an Al-Falah II Nagreg


Setelah mendengar kabar kasus pengeboman di daerah Sarinah, jalan Thamrin, Jakarta, kemarin (14/01/16). Dalam khutbahnya, Ustadz Yuyun Wahyudin menerangkan tentang Islam yang dicacah kepada tiga, yaitu Islam sebagai ajaran, Islam sebagai pemahaman dan Islam sebagai pengamalan.
Islam sebagai ajaran, merupakan Islam murni yang tertera dalam Al-Qur’an yang belum tersentuh pemikir-pemikiran manusia, yang jika Al-Qur’an berbicara tentang (contoh): “ketika engkau telah shalat, maka basuhlah wajah dan kedua tanganmu (isyarat untuk wudhu)”[1] memang benar, bila ayat ini dipahami secara bahasa, artinya memang seperti ini. Maka akan menyimpang bila Al-Qur’an ‘ditelan mentah-mentah’ oleh orang yang kurang pemahamannya. Setelah diketahui demikian, maka memang diperlukan ‘sentuhan’ pemikiran manusia dalam memahami ajaran Islam yang dibawa Al-Qur’an.
Maka diadakanlah Islam sebagai sebuah pemahaman, yaitu ajaran Al-Qur’an yang telah dielaborasi dengan pemikiran-pemikiran para ulama. Isyarat Ayat tadi tidak dipahami ‘tanpa sentuhan’, melainkan dipadu padan kan dengan hadis-hadis, ijma’ dan qiyas, maka didapatlah pemahaman bahwa wudhu itu dilakukan sebelum melaksanakan shalat dan disusunlah syarat syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang dapat membatalkannya.
Setelah Islam sebagai ajaran dan Islam sebagai pemahaman, pencacahan ketiga yaitu Islam sebagai pengamalan, yakni ketika Islam yang telah dipahami itu telah menjadi bentuk amaliyah. Itu yang disebut Islam sebagai pengamalan.
Maka apa kaitan keganya dengan kasus Bom Sarinah? Dapat kita tarik benang merah bahwa ajaran Islam yang hanif, acapkali dipahami oleh ‘kepala yang salah’ sehingga ajaran Islam yang sesungguhnya membawa seruan ‘Rahmatan lil-aalamiin’ , dipahami tidak tepat karena konsep ‘jihad’ dipahami setengah-setengah.
Padahal dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa ‘Inna ad-diina ‘inda Allahi Al-Islam’, yang jika dipahami dari sudut pandang kebahasaan, Islam itu berarti menyerahkan diri sepenuhnya, tidak setengah-setengah kepada Allah, Sang Pencipta.
Pemahaman ‘jihad’ versi mereka yang mengaku orang Islam yang sedang menjalankan ‘amaliyah jihad’-nya dalam kasus Bom Sarinah ini bahkan bukan dikatakan lagi sebagai pemahaman yang kurang tepat, bahkan bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sebenarnya, Islam Rahmatan lil-aalamiin. Wallahu a’lam.

Pojok Pondok Kendan.
Jumat, 15 Januari 2016


[1] Kebiasaan orang Arab seringkali menyatakan sesuatu yang dilakukan sebelum, dikatakan seolah-olah terjadi setelah

Dikutip dari: http://ade-tea.blogspot.com/2011/12/widget-clock-islami-allahuakbar.html#ixzz2BEU0emH0